Menu

Mode Gelap
Berlatih Mental Penggiat Alam Terbuka Pramuka Peduli Menurut Jukran 230 Tahun 2007 Pramuka Peduli, Apakah Suatu Penegasan Belaka? Pendidikan Dasar, Bekal Pembentuk Paradigma Penggiat Alam Program Liputan Pendakian Gunung Indonesia Explore Media – Burangrang.com

Artikel · 6 Apr 2022 13:05 WIB ·

Jejak Sejarah Gedung Lawang Sewu Semarang


Halaman Gedung Lawang Sewu yang cukup asri. Foto : Andree Perbesar

Halaman Gedung Lawang Sewu yang cukup asri. Foto : Andree

Burangrang.com | Semarang – Bagi para penyuka wisata sejarah, Lawang Sewu dapat menjadi salah satu pilihan yang tepat. Sebab Lawang Sewu merupakan bangunan bersejarah yang dibangun pada zaman kolonial Belanda di tahun 1900an dan menjadi saksi bisu dari peristiwa pertempuran lima hari yang berlangsung pada tahun 1945 antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) dengan tentara Jepang.

Menurut istilah orang Jawa, “lawang” berarti pintu, dan “sewu” bermakna seribu atau menjadi kata yang mewakili angka paling banyak di zaman dahulu. Sehingga “Lawang Sewu” artinya seribu pintu. Namun, kalau dilihat dari jumlah aslinya, Lawang Sewu ini memiliki 928 pintu. Hanya kurang 72 pintu saja bukan untuk benar-benar disebut sewu?

Terletak di jantung kota Semarang, tepatnya di Jl. Pemuda, semula Lawang Sewu merupakan kantor administrasi kereta api Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Gedung Lawang Sewu dibangun secara bertahap di atas lahan seluas 18.232 m² dan dirancang oleh arsitek yang berbeda.

Menurut keterangan salah seorang tour guide, Mas Aris, Lawang Sewu terdiri dari lima bangunan. Proses perancangan awal Lawang Sewu dimulai oleh seorang arsitek asal Belanda Ir. P. de Rieu. Bangunan yang pertama kali dibuat adalah gedung C yang difungsikan sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada tahun 1900.

Setelah Ir. P. de Rieu meninggal dunia, kemudian Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag ditunjuk untuk melanjutkan pembangunan Lawang Sewu. Pengerjaan gedung A sebagai kantor utama NIS pun dimulai pada Februari 1904 dan selesai Juli 1907.

“Kalau kita lihat bentuk bangunannya (bentuk dalam gedung A) kaya gerbong kereta, jadi semuanya saling berhubungan seperti gerbong kereta api, hal ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi orang Belanda kala itu,” kata Mas Aris.

Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka dibangunlah beberapa gedung pendukung, yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916 – 1918.

Untuk gedung B sendiri masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara untuk gedung D dan E arsiteknya ialah Thomas Karsten. Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.

Jika dicermati, bangunan Lawang Sewu menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran, dan juga menunjukkan kasta tertinggi. Zaman dahulu, batu bata ini tergolong langka dan harga per-batanya pun sangat mahal.

“Zaman dulu satu batu bata ini ditaksir mencapai 300 ribu harganya. Dan yang unik, cetakannya ada yang melengkung,” kata Aris.

“Dan salah satu alasan kenapa Lawang Sewu banyak pintu bukan hanya untuk membuat sirkulasi udaranya semakin bagus, tapi juga berkaitan dengan kasta, mereka (orang Belanda) sangat menjaga image, jadi kalau bangun ya nggak tanggung-tanggung,” katanya.

Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, kini Lawang Sewu difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api. Mulai dari seragam masinis, alat komunikasi (telepon kayu, telegraf), alat hitung friden, lemari karcis edmonson, karcis kereta kuno, mesin cetak tanggal untuk karcis kereta, dan lainnya.

Pertempuran Lima Hari

Seusai masa kolonial Belanda, Lawang Sewu berpindah tangan menjadi markas tentara Jepang sekaligus kantor transportasi Jepang bernama Riyuku Sokyoku pada tahun 1942.

Singkat cerita, di tahun 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan Indonesia, terjadilah pertempuran yang melibatkan AMKA (Angkatan Pemuda Kereta Api) dengan prajurit Jepang. Pertempuran ini berlangsung selama lima hari tiada henti pada 15 – 19 Oktober.

Salah satu penyebabnya adalah tewasnya dr. Kariadi yang merupakan dokter paling andal kala itu.

Prajurit Jepang berada di dalam kawasan Lawang Sewu, sementara AMKA berada di Wilhelminaplein tepat seberang Lawang Sewu. Wilhelminaplein inilah yang dikenal dengan Kawasan Taman Tugu Muda.

Dari segi jumlah dan senjata pemuda AMKA dinilai memang sudah kalah. Prajurit Jepang ada sekitar 500 ribu orang dengan senjata bayonetnya, sementara AMKA hanya berjumlah 2 ribu lebih pemuda dengan senjata bambu runcing. Namun dengan semangat yang menggelora dan pantang menyerah, pemuda AMKA tetap berusaha melawan, walau pada akhirnya harus gugur di medan perang.

“Kawasan Wilhelminaplein ini dulunya dijadikan kuburan massal bagi pemuda AMKA yang meninggal. Namun, kemudian jasad-jasadnya dipindahkan ke makam yang lebih layak, yakni Makam Giri Tunggal, makam pahlawan dari pejuang AMKA,” ujar Mas Aris.

Berlatar sejarah inilah, pemerintah menetapkan Lawang Sewu sebagai gedung warisan bersejarah yang perlu terus dijaga dan dilestarikan.

Protokol Kesehatan di Lawang Sewu

Bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Museum Lawang Sewu tidak perlu khawatir, karena pihak pengelola sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik.

Di mulai dari pintu masuk yang menggunakan sistem electronic gate, sehingga proses alur masuk pengunjung ke area museum lebih tertata. Tentunya, sebelum masuk ke area museum, pengunjung wajib untuk check-in di aplikasi PeduliLindungi, lalu cek suhu tubuh, serta cuci tangan, dan tidak lupa selalu memakai masker.

Harga tiketnya sendiri untuk orang dewasa Rp20.000 dan untuk anak-anak Rp10.000. Lawang Sewu buka mulai pukul 08:00 – 17:00 WIB.

Keberadaan Lawang Sewu tentu memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk dapat meningkatkan pendapatan ekonomi mereka. Lantaran Lawang Sewu menjadi daya tarik utama atau magnet tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke kota Semarang.

Seperti yang pernah disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, bahwa sektor pariwisata menciptakan multiplier effect bagi industri lain, semisal transportasi, hotel, hingga restoran.

Dengan kata lain, semakin tinggi frekuensi kunjungan wisatawan ke Lawang Sewu maka peluang usaha dan penciptaan lapangan kerja akan semakin terbuka, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Akan tetapi, semenjak pandemi COVID-19, wisatawan yang berkunjung ke Lawang Sewu hanya berkisar 100 orang/hari di weekdays, dan 300 orang/hari di weekend. Padahal sebelum pandemi bisa menembus hingga 3.000 pengunjung bahkan lebih pada saat weekend.

Untuk itu, dengan sejumlah relaksasi kebijakan yang dilakukan pemerintah, seperti penghapusan tes antigen untuk pelaku perjalanan domestik dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kunjungan wisatawan ke Lawang Sewu khsusunya, dan Semarang pada umumnya.

“Dengan program dan kebijakan yang tepat sasaran, tepat manfaat, dan tepat waktu, kita paham kebutuhan rakyat, maka kesejahteraan ekonomi dapat meningkat,” kata Menparekraf.

Pewarta : Nish
Editor : And

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 270 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Berlatih Mental Penggiat Alam Terbuka

29 Mei 2024 - 15:26 WIB

Penggiat Alam Terbuka

Pramuka Peduli Menurut Jukran 230 Tahun 2007

28 Mei 2024 - 18:19 WIB

Pramuka Peduli

Pramuka Peduli, Apakah Suatu Penegasan Belaka?

27 Mei 2024 - 11:29 WIB

Pramuka Peduli

Pendidikan Dasar, Bekal Pembentuk Paradigma Penggiat Alam

24 Mei 2024 - 11:51 WIB

Pendidikan Dasar Penggiat Alam

Dukungan Cash Sponsor dan Kredibilitas Pelaku Ekspedisi

8 September 2022 - 14:19 WIB

Ekspedisi

Gunung Pendakian Yang Berada di Wilayah Taman Nasional

7 September 2022 - 17:23 WIB

Taman Nasional
Trending di Artikel