BURANGRANG – Dalam beberapa catatan yang mengurai tentang definisi Ekspedisi (perjalanan), kecenderungan pemaknaannya lebih mengarah pada sistim, pola, dan manajemen perjalanan.
Artinya sebuah Ekspedisi perjalanan haruslah berbasis dan memiliki perencanaan detail dan matang. Hal itu guna meminimalisir resiko dari potensi bahaya yang kerap menjadi kendala selama operasional perjalanan. Sehingga tujuan utama penyelenggaraan Ekspedisi dapat diraih sesuai target.
Sebaliknya, suatu Petualangan akan menyusut nilai adrenalinnya manakala segala sesuatunya harus diprediksi terlebih dahulu. Meski demikian perencanaan dasar haruslah tetap dirumuskan, misalnya tujuan tempat bertualang.
Bahkan dalam hal waktu pelaksanaan petualangan pun seakan kurang relevan jika harus ditetapkan pula. Sebab, diawal memang tidak adanya rumusan perencanaan tentang bagaimana mengantisipasi ketika menghadapi suatu kendala.
Artinya, bertualang itu lebih menekankan pada improvisasi dilapangan. Tentu dengan teknik-teknik sesuai kaidah yang ada. Lalu, apakah ini akhirnya terkesan bahwa petualangan itu sangat tidak direkomendasikan bagi pihak-pihak yang tidak memiliki skill dasar?
Bisa dikatakan demikian. Sebab tidak mungkin seseorang yang tidak memiliki nuansa petualangan akan memiliki mainset bertualang. Nuansa seorang petualang umumnya memiliki karakter tualang.
Contoh sederhananya, yang bersangkutan sudah pasti tahu dan paham alat sederhana apa saja yang safety atau multi fungsi. Dia juga tahu dan paham bagaimana menggunakan dan memanfaatkan alat-alat petualangan, baik alat standar (buatan) maupun yang alami (teknik survival).
Apakah hal itu menjadi kontradiksi ketika terdapat suatu aktifitas kegiatan yang melabelkan sebuah Ekspedisi namun ditorehkan pula narasi Petualangan? Misalnya judul kegiatannya, “Ekspedisi Petualangan Jejak si Gondrong Puncak Carstensz 2022”.
Jika ditelisik berdasarkan uraian diatas, tentu kegiatan Si Gondrong menjadi tidak relevan. Karena berbenturan dengan sifat batasan dari Ekspedisi dan Petualangan itu sendiri.
Namun diluar itu sah-sah saja jika menggunakan penggabungan kedua narasi tersebut. Sebab hingga kini tidak ada pihak berwenang atau kompeten yang mengkategorikan suatu jenis perjalanan.
Semua itu kembali ke jati diri masing-masing. Sebab yang lebih pokok adalah bagaimana kegiatan petualangan atau ekspedisi perjalanan dapat subur untuk terus dilakoni oleh organisasi-organisasi atau komunitas-komunitas penggiat alam terbuka, maupun secara personal.
Ada sebuah anekdot, “Jangan terjebak dengan batasan-batasan yang dapat menghambat intensitas kita dalam berkegiatan di alam terbuka. Tempuh saja, sebab dunia ini melebihi lebarnya daun kelor dan tak sesempit batasan pikiran”.
Berpetualang maupun Ekspedisi di alam terbuka merupakan satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akan keindahan Ciptaan-Nya. Meski dalam menempuhnya kita harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang ada.
Seperti kaidah perjalanan ke alam terbuka itu sendiri, kaidah lingkungan, kaidah sosial, hingga kaidah agama serta kaidah yang diatur oleh negara. Sehingga norma-norma yang tingkatannya jelas lebih bermartabat dari sekedar perbedaan Ekspedisi dan Petualangan itu, dapat lebih kita kedepankan.
Penulis/Editor: Djali Achmad
