Burangrang.com | Jakarta – Pelaku industri Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), harus berhenti mencemari lingkungan dengan limbah merkuri. Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati menegaskan bahwa aksi tersebut dapat membahayakan banyak pihak.
Hal itu disampaikan pada diskusi daring “Menuju PESK Bebas Merkuri,” yang digelar oleh KLHK bersama United Nations Development Programme (UNDP), di Jakarta, pada Selasa, (8/2/ 2022). Diskusi digelar sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah Indonesia yang telah ditunjuk sebagai tuan rumah pelaksanaan Pertemuan Keempat Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP). Salah satu tujuan konvensi, adalah pengentasan pencemaran lingkungan oleh limbah merkuri.
“Penambang emas yang tidak bertanggungjawab, limbah merkuri dibuang begitu saja di lokasi, termasuk ke sungai tempat di mana pada umumnya PESK berada. Sebagian besar kegiatan PESK berlangsung secara ilegal. Kegiatan tanpa izin ini menimbulkan dampak negatif, yaitu menyebabkan penurunan kualitas lingkungan akibat pembukaan lahan untuk penambangan, dan pembuangan tailing sebagai sisa dari pengolahan emas yang menggunakan bahan kimia tertentu,” ujar Rosa Vivien Ratnawati.
Dikatakan Vivien, kegiatan PESK umumnya beroperasi secara informal dan mengeksploitasi cadangan-cadangan emas marginal, yang terletak di daerah terpencil dengan akses yang sulit dijangkau seperti di hutan lindung dan di kawasan konservasi. Bahkan di beberapa tempat, kegiatan pengolahan emas PESK dilakukan di tengah-tengah pemukiman penduduk.
PESK merupakan sumber mata pencaharian menarik di pedesaan, karena berpotensi memberikan pendapatan tambahan. Kegiatan di PESK tidak memerlukan pelatihan yang rumit, sehingga sangat mudah masyarakat berpindah dari sektor agrikultur ke sektor penambangan emas, atau menjadi mata pencaharian gabungan.
“PESK sebagai sumber utama penghasilan bagi keluarga karena sulitnya memperoleh pekerjaan. Kegiatan tersebut juga bisa bertahan karena adanya keuntungan yang menggiurkan, dan karena lemahnya pengawasan pada wilayah yang kaya akan sumber daya mineral. Mereka yang telah bertahun-tahun merasakan hasil dari mengolah emas, sangat sulit untuk berpindah ke mata pencaharian lainnya,” terang Vivien.
Vivien menjelaskan, penelitian yang dilakukan oleh United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 2013 lalu, menemukan bahwa merkuri yang dilepaskan dari kegiatan PESK mencapai 727 ton atau sekitar 37% dari emisi global. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan emisi-emisi merkuri yang dilepaskan oleh industri lain seperti pembakaran batubara dan produksi semen.
“Pemerintah Indonesia, berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan merkuri oleh para pelaku PESK,” tegas Dirjen PSLB3, KLHK.
Terkait hal ini, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang Undang No. 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury atau Konvensi Minamata mengenai Merkuri). Dengan meratifikasi Konvensi Minamata, maka Indonesia diharuskan membuat langkah-langkah strategis untuk menghapuskan penggunaan serta emisi merkuri.
“Saat ini Indonesia menjadi tuan rumah pelaksanaan C0P-4 Konvensi Minamata dan saya sebagai Presiden COP-4 dari 137 negara nantinya akan melakukan pertemuan COP- 4.2 secara tatap muka di Bali pada bulan Maret dari tanggal 21 – 25 Maret 2022. Kami bekerja keras menyiapkan agar acara terselenggara dengan baik mengingat saat ini angka Covid -19 sedang meningkat di Indonesia. Kami memandang bahwa persoalan merkuri ini harus diselesaikan dan kita harus tetap bekerja walaupun dengan proses yang sangat ketat,” kata Vivien.
Kemudian, sebagai bukti komitmen Pemerintah Indonesia dalam penanganan merkuri, diterbitkan Peraturan Presiden No. 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM). RAN PPM merupakan dokumen rencana kerja tahunan untuk mengurangi dan menghapuskan merkuri di tingkat nasional yang memuat strategi, kegiatan dan target pengurangan dan penghapusan merkuri yang diprioritaskan pada bidang manufaktur, energi, PESK dan kesehatan.
Gubernur/Walikota/Bupati wajib menyusun dan menetapkan Rencana Aksi Daerah Pengurangan dan Penghapusan Merkuri. Dan sebagai pedoman pelaksanaan Perpres No. 21 tahun 2019 kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 81 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Perpres Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri. Sebagaimana diatur dalam RAN PPM pada bidang prioritas PESK ditargetkan penghapusan penggunaan merkuri sebesar 100% sebelum adanya kebijakan RAN PPM di tahun 2025.
“Tidak ada solusi yang sederhana untuk menghapuskan penggunaan merkuri pada kegiatan PESK secara menyeluruh dan cepat. Tetapi melalui pendekatan regulasi, formalisasi, sosial, lingkungan, penegakan hukum dan penyediaan alternatif teknologi, diharapkan dapat mendukung upaya penghapusan penggunaan merkuri,” ujar Rosa Vivien Ratnawati.
Pada kesempatan tersebut, diskusi juga dihadiri oleh, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Wafid, Plt. Kepala OR Pengkajian dan Penerapan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dadan Moh. Nurjaman, serta aktor sekaligus pemerhati lingkungan, Ramon Y. Tungka. Diskusi dimoderatori oleh Prita Laura.
Pewarta : Nish
Editor : And