Burangrang.com | Jepara,- Cagar Alam Gunung Celering (CAGC) merupakan salah satu kawasan konservasi di Jawa Tengah yang memiliki kekayaan sumber daya alam flora dan fauna yang beragam. Cagar alam tersebut secara administrasi pemerintahan masuk wilayah Kabupaten Jepara. Nama cagar alam tersebut diambil dari nama mata air yang muncul dari perbukitan dan merupakan hulu dari sungai Celering, Ujungwatu, Lempung, Towo, Kemunir, Blumbang, Nglandep, Mundoro, dan sungai-sungai kecil lainnya (BKSDA Jawa Tengah, 2009).
Cagar Alam Gunung Celering ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 755/Kpts-II/1989, tanggal 16 Desember 1989, dengan luas ±1.328,40 ha. Meskipun kawasan CAGC merupakan kawasan konservasi, namun potensi keragaman jenis pohon banyak mengalami penurunan, baik habitat maupun populasinya, disebabkan oleh bencana alam maupun aktivitas masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut secara tidak berkelanjutan.
Pada dasawarsa terakhir ini tekanan pengaruh manusia terhadap ekosistem hutan di kawasan CAGC semakin meningkat seiring meningkatnya laju pengalihan fungsi hutan secara ilegal menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, menyatakan bahwa tingkat kerusakan kawasan CAGC mencapai sekitar 30 persen dari luas kawasan tersebut (Suara Merdeka, 2007).
Pengalihan fungsi hutan akibat penjarahan dan perambahan di kawasan tersebut telah menurunkan fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan. Kondisi hutan alam dataran rendah (hutan pamah) pada saat ini amat kritis karena masyarakat di sekitar hutan, gangguan pada umumnya disebabkan oleh penggunaan lahan tanpa kontrol yang banyak ditemui di bagian dari CAGC yang pada saat ini sudah mengarah kepada deforestasi. Akibat dari gangguan ini adalah tidak terjadinya proses regenerasi secara normal dan terjadinya suksesi yang mengakibatkan pembentukan berbagai macam vegetasi sekunder.
Pada umumnya hutan hujan tropik dataran rendah kaya akan jenis, pada kondisi primer merupakan ekosistem yang stabil. Kestabilan ekosistem tersebut dapat berubah akibat berbagai gangguan hutan antara lain penebangan. Dinyatakan oleh Johns (1997) dan Whitmore (1984) bahwa pembalakan di hutan alam dapat merusak sampai dengan 50% jumlah pohon dibanding dengan sebelumnya.
Contohnya saat ini bisa dilihat dari Pohon Dermolo yang sudah cukup langka, Bagi masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Celering, Kab. Jepara pohon ini memang sudah dianggap langka dan keberadaannya sangat dijaga.
Dermolo biasa kita kenal dengan nama Plalar (Dipterocarpus haseltii), di Jawa sendiri lebih familiar dengan sebutan Kruing. Pohon ini merupakan salah satu anggota kelas Dipterocarpaceae.
Keberadaan Dermolo di Cagar Alam Gunung Celering sudah sangat sulit ditemukan, dari hasil identifikasi petugas lapangan persebaran jenis Dermolo hanya ditemukan di 3 (tiga) tempat yaitu di Blok Jugo, Blok Jering, dan Blok Cobaan dengan populasi kurang dari 10 individu.
Jenis ini sangat menyukai cahaya pada fase anakannya. Karena tutupan vegetasi di CA Gunung Celering sangat rapat, anakan dari pohon Dermolo ini sangat sulit untuk berkembang biak secara alami.
Upaya konservasi untuk mengembangbiakkan pohon Dermolo juga dibantu oleh masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Celering dengan cara menyemaikan bijinya, semoga dengan adanya kelangkaan ini masyarakat semakin sadar akan kelestraian lingkungan dan keseimbangan ekosistem dapat terjaga. Salam konservasi!
Sumber: Buletin Plasma Nutfah Vol.20 No.1 Th.2014 dan PEH Balai KSDA Jawa Tengah
Pewarta: And