BURANGRANG – Kelayakan apresiasi dari suatu sponsor terhadap satu kegiatan menjadi harapan besar bagi semua pihak pelaku kegiatan. Terlebih jika kegiatan yang digelar merupakan sebuah Perjalanan Ekspedisi.
Disisi lain, Pelaku Ekspedisi pun dituntut lebih profesional akan kredibilitas dan integritas berkegiatan. Lalu, apakah situasi tersebut sudah cukup membumi di Indonesia, khususnya dalam kegiatan Outdoor Activity?
Ekspedisi Alam Terbuka merupakan suatu perjalanan menuju medan alam liar baru bagi si pelaku ekspedisi yang didasari dengan sistem perencanaan operasional yang matang, detail, dan konfrehensif.
Dukungan perencanaan yang berbasis manajemen operasional tersebut menjadi suatu keharusan. Mengingat wilayah yang ditempuh merupakan medan yang baru bagi si pelaku ekspedisi. Sehingga diperlukan perencanaan-perencanaan teknis dalam upaya menghadapi situasi normal maupun upaya antisipasi diluar prediksi.
Ketika manajemen perencanaan ekspedisi telah dibukukan dengan baik; matang, detail, konfrehensif, tentu juga dengan basis data yang update dan akurat karena data yang diperoleh dari berbagai pihak dan sumber, satu tahapan ekspedisi ini telah berhasil dilalui oleh si pelaku ekspedisi.
Meski tahapan persiapan itu sifatnya non teknis, lebih pada memeras otak dan beradu argumentasi antar sesama pelaku ekspedisi guna menghasilkan rumusan dan analisis operasional yang relevan, bisa kita bayangkan seruwet dan sekeras apa proses itu.
Belum lagi ketika masuk ditahapan pelaksanaan ekspedisi. Tapi jangan Sobat Burangrang bayangkan dahulu, nanti saja diakhir artikel. Tapi setidaknya jika berkaca dari tahap perencanaan saja, sangatlah relevan jika pelaku ekspedisi mendapat apresiasi yang cukup layak.
Meski masih dalam bundle perencanaan proposal, itulah script dan skenario dari sebuah penyelenggaraan ekspedisi yang akan dilaksanakan. Artinya, jika rencana operasi perjalanan ekspedisi itu sangat berkualitas dan sarat dengan asas-asas profesionalitas, sudah seyogyanya apresiasi sponsor harus mengimbangi.
Jika perlu, apresiasi yang disampaikan sponsor haruslah melebihi dari harapan si pelaku ekspedisi. Mengingat resiko yang harus dihadapi pelaku ekspedisi cukup besar, bahkan ‘taruhan’ nyawa kerap menghantui selama ekspedisi berlangsunng.
Sehingga menjadi tidak relevan lagi ketika dukungan atau apresiasi yang disampaikan pihak sponsor masih seputar pertukaran produk bisnisnya dengan brand yang disisipi selama ekspedisi berlangsung. Meski hal itu sah-sah saja, justru akhirnya itu menjadi ukuran nilai apresiasi dari brand sponsor itu sendiri.
Dukungan berupa anggaran Cash lebih sangat layak disampaikan pihak sponsor dalam mengapresiasi sebuah ekspedisi. Dibanding sebuah produk yang kadang produk tersebut tidak berfungsi dimanfaatkan selama pelaksanaan ekspedisi berlangsung.
Contohnya ketika akan diadakannya Ekspedisi Seven Summits Indonesia atau Seven Summits Dunia, atau Ekspedisi Pendakian 14 Gunung Berketinggian Diatas 8000an, atau Ekspedisi Grand Slam Dunia, atau ekspedisi apapun yang sederhana sekalipun.
Pada prinsipnya dukungan cash sepertinya lebih dibutuhkan si pelaku ekspedisi. Hal itu disebabkan tingginya kebutuhan operasional ekspedisi seperti anggaran transportasi, akomodasi, perizinan, sewa porter, logistik dan lainnya, serta beragam perlengkapan khusus yang dibutuhkan pelaku ekspedisi.
Menurut seorang penggiat alam terbuka asal Tangerang, Erick Victor, “Di Indonesia kultur dukungan layak yang seperti itu masih jarang dijumpai. Umumnya masih berupa pemberian produk. Kecuali bagi personal yang sudah famous atau organisasi-organisasi besar yang sudah dikenal,” ujar Erick dalam pesan singkatnya.
Sedangkan Sobat Burangrang yang kerap mendaki bareng redaksi Burangrang, Andri Wirawan, mengungkapkan hal yang berbeda. “Dahulu ketika Reinhold Messner belum dikenal publik petualang, justru dirinya sudah mendapat dukungan sponsor dari perusahaan besar olahraga, yaitu Nike. Entah kenapa itu bisa terjadi padahal orang-orang lebih mengenal sosok kakaknya,” ungkap Wira.
“Setelah namanya lebih dikenal dikalangan pendaki dunia, bukan sesuatu yang sulit lagi buat Messner memperoleh sponsor-sponsor besar. Artinya, ada perbedaan paradigma antara perusahaan luar dengan lokal (Indonesia). Terlepas Nike dan yang lainnya perusahaan besar ya,” tambah Wira.
Perspektif Erick dan Wira itu meski belum merepresentasikan atau mewakili suara dari komunitas alam terbuka, namun itu menunjukan satu fase yang terjadi dilingkungan penggiat alam terbuka. Khususnya pada situasi berkegiatan ekspedisi yang terkait dengan keberadaan perusahaan-perusahaan dalam mengapresiasi atau mendukung sebuah kegiatan ekspedisi.
Disisi lain bisa saja ini menjadi catatan tersendiri bagi pelaku ekspedisi itu sendiri. Baik dalam hal memproses persiapan perencanaan ekspedisinya secara lebih profesional maupun intensitas berkegiatan non ekspedisi yang perlu lebih ditingkatkan. Misalnya terus berlatih mendaki ke gunung-gunung atau ke tebing-tebing. Sehingga memiliki jam terbang atau portofolio yang sangat layak bagi pihak sponsor.
Ada anekdot lagi terkait tema artikel ini. “Tidak perlu perusahaan-perusahaan besar. Cukup produsen outdoor activity lokal dan toko-toko outdoor saja sudah cukup kok. Andai 1 produsen dan toko itu mensponsori sebuah ekspedisi minimal 500 ribu dikalikan 500 brand, itu saja sudah cukup. Bahkan ini lebih strategis dari 1 sponsor besar, sebab sekali ekspedisi bisa langsung mengusung atau mengangkat 500 brand lokal sekaligus”.
Selamat berekspedisi Sobat Burangrang. Kuatkan tekad dan selalu optimis. Jangan lupa untuk selalu berkolaborasi dengan berbagai pihak guna saling menguatkan dalam melangkah ke tujuan utama.
Penulis/Editor: Djali Achmad