BURANGRANG – “Keberhasilan hari ini adalah berkat hari-hari besar sebelumnya yang diisi usaha nyata oleh orang-orang yang bermental baja dalam menaklukan alamnya.” Redaksional diatas dikutip dari buku berjudul “Tembagapura: Tambang, Keunikan dan Keindahan Alam Sekitarnya”. Tepatnya terdapat dalam bagian “1.1 Jangan Melupakan Sejarah”.
Buku yang dirilis oleh PT Freeport Indonesia tersebut di terbitkan pada tahun 2010. Dengan dibubuhi didalamnya tandatangan Bupati Kabupaten Mimika, Klemen Tinal, SE, ME, dan Presiden Direktur/CEO PT Freeport Indonesia, Armando Mahier, serta Komisaris Utama PT Freeport Indonesia, A.R. Soehoed. Cukup menarik buku yang disusun oleh banyak penulis dan kontributor itu.
Namun ada yang lebih menarik dari kisah panjang tersebut terhadap fakta yang ada, khususnya fakta yang terdapat pada komunitas Penggiat Alam, baik di Indonesia maupun pendaki gunung dunia. Fakta tersebut adalah sulitnya melakukan kegiatan pendakian ke Puncak Carstensz Pyramid maupun 3 puncak lainnya, yaitu Puncak Soekarno, Puncak Soemantri, dan Puncak Carstensz Timur.
Seperti kita ketahui bersama, keempat puncakan itu berada di jajaran Pegunungan Tengah, atau dikenal dengan Barisan Sudirman atau Pegunungan Jayawijaya. Keempat puncakan tersebut merupakan titik-titik tertinggi pada Pegunungan Jayawijaya. Bahkan salah satunya, yaitu Puncak Carstensz Pyramid, menjadi gunung tertinggi yang ada di Indonesia bahkan di Benua Oseania.
Dikalangan pendaki dunia, Puncak Carstensz Pyramid merupakan satu destinasi dari tujuh puncak gunung tertinggi yang berada di tujuh benua. Konsep itu dilingkungan pendaki dikenal dengan istilah Pendakian Seven Summits. Dan Carstensz Pyramid sendiri mewakili dari benua Oseania, yaitu daratan-daratan di bumi yang terdiri atas pulau-pulau di Samudera Pasifik.
Lalu bagaimana hingga Carstensz Pyramid bisa dikenal dunia? Apa kaitannya Carstensz Pyramid dengan PT Freeport ? Mengapa PT Freeport seolah-olah mempersulit para pendaki yang ingin mendaki Puncak Carstensz? Apa mungkin PT Freeport belum menyadari bahwa keberadaannya sekarang hingga menjadi industri tambang terbesar dunia, salah satu faktornya adalah atas peran seorang pendaki gunung ketika menemukan Ertsberg atau Gunung Bijih?
Untuk pertanyaan pertama diatas mungkin sedikit banyak sudah disampaikan sebelumnya. Bahwa konsep Seven Summits versi Reinhold Messner yang memasukan Carstensz Pyramid sebagai satu destinasi menggantikan Gunung Kosciuzko di Australia yang merupakan sebagai satu destinasi Seven Summits versi Richard Bass, yang notabennya sebagai pencetus konsep Seven Summits.
Kaitan Carstens Pyramid dengan PT Freeport Indonesia, sangat kental sekali. Pertama tentang temuan awal Ertsber atau Gunung Bijih yang selanjutnya di ekplorasi oleh PT Freeport. Ertsber pertama kali di temukan oleh Dr. Jean Jacques Dozy, dalam ekspedisinya ke Puncak Carstensz Pyramid bersama dua orang rekannya yaitu Dr. Antonie Hendrikus Colijn dan Frits Wissel.
Selain rutinitas yang sama pada perusahaan minyak milik Belanda (NNGPM), ketiga orang tersebut ternyata memiliki kegemaran yang sama yaitu mendaki gunung. Dalam buku Tembagapura disebutkan, “walaupun satunya sebagai pemimpin dan satunya sebagai stafnya, Colijn dan Dozy ternyata kompak dalam soal kegemaran. Mereka memiliki kegemaran yang sama yakni mendaki gunung”.
Kaitan kedua yaitu mengenai wilayah operasional yang sama, antara jalur pendakian ke Puncak Carstensz Pyramid dengan wilayah pertambangan PT Freeport. Mungkin dapat kita maklumi bersama jika peraturan yang dibuat PT Freeport mengenai area kerjanya terbilang sangat ketat dan terbatas. Terlebih saat ini PT Freeport sudah menjadi area strategis nasional.
Mengenai hal ini penulis teringat sosok almarhum Kang Ogun. Yang pada suatu waktu diminta kemampuannya oleh PT Freeport untuk membuat satu jalur pendakian ke Puncak Carstensz. Hal itu dilakukan sebagai upaya PT Freeport bagi pendaki yang ingin mendaki Carstensz tapi tidak melewati wilayah operasional PT Freeport. Sayangnya setelah jalur tersebut berhasil dirintis dari sisi Selatan Carstensz namunhingga kini belum ditindak lanjuti oleh pihak PT Freeport.
Pertanyaan selanjutnya adalah, “Mengapa PT Freeport seolah-olah mempersulit pendaki yang ingin ke Puncak Carstensz? Seperti sudah disinggung sedikit diatas. Hal itu merupakan kebijakan perusahaan dalam menjaga wilayah operasi kerjanya. Disisi lain PT Freeport sudah membuat solusi bagi pendaki dengan dibuatkannya jalur khusus pendakian, meski belum ada tindak lanjut.
Diluar itu, jalur pendakian ke Puncak Carstensz sebenarnya ada lima. Pertama lewat Barat Daya yang dimulai dari Kabupaten Mimika, melalui jalur ini akan melintas wilayah opersional PT Freeport. Kedua melalui Selatan, namanya daerah Tsinga. Jalur ketiga menempuh dari sisi Timur Laut yang dikenal dengan daerah Ilaga. Jalur keempat dan kelima lewat Utara, dari sini terdapat dua jalur, melalui Sugapa-Ugimba dan Sugapa-Suanggama.
Namun karena faktor waktu tempuh yang cukup panjang (umumnya 14-20 hari untuk pulang pergi) dan keamanan yang sulit diprediksi, akhirnya mengakibatkan biaya pendakian ke Carstensz sangat mahal. Hingga terdapat anekdot di sebagian kalangan pendaki, “Sudah mahal, sulit perizinan, tidak aman pula dalam perjalanan, Carstensz oh Carstensz kamu hanya mimpi di siang bolong”.
Bagi sebagian pendaki yang berlebihan biaya mungkin hal itu bukanlah mimpi. Sebab itu dapat diwujudkan dengan aman meski harus merogoh kocek besar. Bahkan singkat pula waktu tempuh yang harus disiapkan, cukup 5-7 hari. Yaitu menggunakan jasa helikopter atau chopper yang start dari Bandar Udara Internasional Mozes Kilangin, Timika.
Biaya mendaki ke Carstensz cukup bervariasi, tergantung operator dan jalur lintasan yang dipilih. Jika menggunakan jalur trekking yang waktu tempuhnya panjang, satu orang bisa dikenakan 50-70 juta minimal 6 orang. Jika memilih chopper bisa lebih mahal, antara 90-100 juta per orang minimal 3 orang. itu untuk tarif lokal, sedangkan untuk pendaki asing bisa hingga 150 juta per orang.
Pertanyaan terakhir, “Apa mungkin PT Freeport belum menyadari peran pendaki gunung sangat besar bagi keberadaan PT Freeport ketika Ertsberg ditemukan Dozy yang notabennya seorang pendaki gunung?” Menjawab itu, seperti keterangan diatas, mungkin saja niat PT Freeport sudah ada dengan memfasilitasi para pendaki gunung yang ingin ke Carstensz dengan membuat satu lintasan diluar wilayah PT Freeport yang dirintis oleh almarhum Kang Ogun.
Andai jalur rintisan Kang Ogun itu dapat direalisasikan bukan saja tidak akan mengganggu operasional kerja PT Freeport karena tidak melintas wilayah kerjanya. Kabarnya jalur tersebut lebih menghemat waktu tempuh pendakian, dapat hingga 12-14 hari trekking pulang pergi. Sehingga dapat menghemat atau menekan cost biaya pendakian bagi pendaki umum yang ingin muncak ke Carstensz.
Masih ada waktu bagi PT Freeport untuk melonggarkan kebijakannya atau merealisasikan jalur baru yang telah dirintis itu. Agar para pendaki gunung di negeri ini yang notabenennya warga negara Indonesia dapat merasakan puncak tertinggi di negerinya sendiri dengan biaya terjangkau. Terlebih kondisi di Puncak Carstensz yang kini sudah tidak memiliki salju abadi karena telah larut oleh pemanasan global dan masifnya kegiatan industri pertambangan.
Dan kini salju itu hanya menyisakan di tiga puncakan; Puncak Carstensz Timur, Puncak Soekarno, dan Puncak Soemantri. Itupun dengan ketebalan dan luasan gletser yang semakin menyusut dan menipis. Para ahli, termasuk BMKG mengklaim bahwa salju di Pegunungan Tengah akan punah untuk selamanya pada tahun 2025. Sebagian lagi mengatakan sebelum tahun 2025. Ada juga yang berspekulasi antara tahun 2025-2030.
Sangat ironis bahkan aneh, jika pendaki lokal di negeri ini tidak sempat merasakan aura puncak Carstensz Pyramid dan ketiga puncak lainnya hanya karena biaya pendakian yang sangat mahal dan ketiadaan izin yang notabenennya hanya sekedar melewati wilayah kerja! Dan notabenennya wilayah kerja itu produk yang diolahnya ditemukan oleh seorang pendaki gunung!
Jangankan anak cucunya, orang tuanya pun tidak sempat merasakan sensasi Pegunungan Jayawijaya. Hanya dapat melihatnya dari lembaran-lembaran digital. Mungkin saja jika Colijn, Dozy, Wissels masih hidup saat ini, mereka akan mengajak para pendaki gunung di negeri ini untuk mengenang peristiwa ekspedisi 1936 silam. Sebuah ekspedisi dimana Ertsberg pertama kali ditemukan. Suatu ekspedisi dimana naluri geologi Dozy muncul ketika Gunung Bijih itu tersingkap untuk pertama kalinya. Seperti sub judul pada buku Tembagapura, Jangan Melupakan Sejarah.
Penulis: Pemimpin Redaksi Burangrang.com
Editor: Djali Achmad