Rutinitas Rabu itu sedikit lebih ekstra dari Rabu sebelumnya. Aku harus segera menyelesaikan beberapa editan dari tulisan teman-teman redaksi, termasuk tulisanku sendiri. “Kok masih sore kelihatan buru-buru bro, tumben, lanjut kemana nih?” Tanya teman ketika melihatku membereskan laptop ke dalam dry bag oranyeku.
Setiba di rumah isi dry bag aku bongkar, aku tukar dengan pakaian salin dan kebutuhan lain. Setelah anak dan istriku cium tangan melepas keberangkatanku, si bontot bertanya seperti pertanyaan teman kantor. “Ayah mau liputan ke Bayah, daerah Banten Selatan, besok sudah pulang lagi,” jawabku, sambil mencium satu-satu keluargaku tercinta.
Pukul 21.30 WIB aku meluncur ke Ciledug untuk menjemput teman. Dari Jakarta kami bertiga, setiba di Ciledug rombongan kami menjadi enam orang. Setelah merasakan segelas kopi Ciledug, pukul 23.00 WIB kami langsung tancap gas menuju Pandeglang, Banten, menjemput teman lainnya. “Seru nih, perjalanan kali ini ramai” gumamku.
Kamis, 13 Agustus dini hari, tepatnya pukul 01.30 WIB, kami tiba di kediaman teman di Pandeglang. Sambil mencicipi kopi Pandeglang kami diskusi ringan, apakah ingin langsung ke Bayah sekarang juga atau sesuai rencana awal, setelah Shubuh nanti. Dengan segala pertimbangan akhirnya kami putuskan langsung berangkat. 02.00 WIB kami start dari Pandeglang menuju Bayah.
Sarapan yang disediakan teman Pandeglang yang seharusnya kami selesaikan esok pagi, dini hari itu sudah kami ‘bersihkan’. Rombongan yang kini berjumlah tujuh orang mulai menyusuri heningnya sudut kota. Pandeglang, kota kuno yang pada awal-awal masehi silam sempat menjadi pusat pemerintahan kerajaan tertua negeri ini, yaitu Kerajaan Salakanagara.
Lintasan perjalanan dari titik awal ke titik akhir di Google Maps, sudah aku kunci. Dari kota Pandeglang ke lokasi yang kami tuju di Desa Situmulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten, menurut mbah google mencapai 153 Km, dengan waktu tempuh 4 jam 10 menit menggunakan kendaraan roda empat.
Meski nyatanya kami tempuh hingga 6 jam, namun itu diluar ngopi sejenak di warung yang baru saja buka, dan sarapan nasi uduk di satu persimpangan yang dikenal dengan Pasir Kuray. Sarapan nasi uduk di tengah pekatnya kabut yang menyelimuti kami menjadikan sarapan pagi itu sarapan yang sangat eksotik. “Ajiiib, keren banget cuy,” seruku.
Pertigaan Pasir Kuray merupakan lokasi transit bagi angkutan umum Pelabuhan Ratu – Cisitu. Pertigaan ini ruas jalannya lumayan lebar. Kantor BRI dan minimarket yang terkenal itu masih dapat kita jumpai di sini. Pukul 06.30–07.00 WIB kami habiskan waktu di Pasir Kuray untuk sarapan sekaligus bertanya ke warga tentang medan lintasan yang menuju Kasepuhan Cisitu di Desa Situmulya.
Secara umum hasilnya ada dua pendapat berbeda. Ada yang menyebut medan lintasan menuju Kasepuhan Cisitu dapat ditempuh dengan roda empat kendaraan kecil. Pendapat lain mengatakan harus dengan mobil bersasis tinggi atau ground clearance tinggi. Jika pendek dikhawatirkan bagian bawah kendaraan akan mentok atau slip dengan batu-batu di jalan.
Kami disarankan menyewa pick up yang biasa mengangkut warga desa karena ground clearance nya tinggi. Biaya sewa pick up mencapai Rp.400 ribu/PP. Sedangkan jika menggunakan kendaraan kami khawatirnya tidak akan sampai ke lokasi, karena sasisnya pendek. Namun kami putuskan untuk tetap memakai kendaraan sendiri. Satu jam kemudian, Kasepuhan Cisitu dapat kami jumpai.
Satu jam terakhir itu merupakan perjalanan yang lumayan seru, meski cukup beresiko bagi kendaraan kami. Di awal perjalanan dari Pasir Kuray kami dihadapkan pada portal desa yang dijaga warga. Jalan hingga 15 menit pertama masih beraspal, dengan dipenuhi rumah warga di kanan kiri jalan. Selanjutnya berupa jalan makadam dengan lintasan mulai berkontur; naik turun, menyempit, tikungan tajam.
Lepas kontur pertama jalan sedikit menurun, dengan jembatan hancur siap menyambut. Namun disisi jembatan hancur sudah dibangun jembatan tradisional yang dibangun warga yang muat satu mobil. Hancurnya jembatan beton disebabkan banjir bandang pada awal Desember 2019. Lintasan setelah jembatan yang merupakan jalan yang beda punggungan dengan sebelumnya itu sudah kembali beraspal.
Yang disampaikan warga tentang medan lintasan, memang benar adanya. Beberapa kali bagian bawah mobil kami mentok oleh batu-batu di jalan, perjalanan harus sangat perlahan. Ditambah kami harus turun dari mobil untuk mendorong karena jalan yang menanjak juga licinnya bebatuan jalan yang baru disiram hujan. “Benar-benar seru nih,” singkat driver kami.
Hingga akhirnya lintasan itu dapat kami ‘jinakkan’ dan tampaklah Kasepuhan Cisitu dihadapan kami. Kesan pertamaku saat menyaksikan rumah warga Desa Sitimulya di Kasepuhan Cisitu, biasa-biasa saja tidak tampak sesuatu yang berbeda atau unik. Bangunan rumah umumnya permanen, dengan jalan sudah lumayan bagus dan muat dilintasi dua kendaraan kecil.
Kalau ‘dipaksa’ untuk mendapatkan ciri khas atau keunikan pada desa ini, sepintas, pikirinku hanya tertuju pada bangunan yang mengeluarkan suara mesin di bagian depan atau samping di setiap rumah warga. Itulah mesin-mesin pengolahan emas yang diproses secara tradisional oleh warga. “Mungkin rumah disini sudah banyak yang permanen ada kaitan dengan (kegiatan emas) itu,” ucapku pada driver.
Setiba di lapangan, kami langsung disambut pengurus Kasepuhan Cisitu untuk langsung naik ke Pendopo Kasepuhan. Tetua adat tampak menanti kami dengan duduk lesehan yang di dekatnya terdapat meja besar dengan aneka hidangan diatasnya. Suasana hangat penuh silaturahim sangat kurasakan dalam penyambutan yang diiringi tebalnya kabut hutan Halimun.
Kasepuhan Cisitu yang secara geografis terletak pada koordinat 6⁰47’11,2″S – 106⁰25’59,7″S, merupakan satu komunitas adat Banten Kidul yang berdiam di Barat Daya Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sedangkan secara administratif Kesepuhan Cisitu berada di Kampung Sukatani, Desa Situmulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten.
Jika ingin menuju Kasepuhan Cisitu bisa ditempuh dari Pelabuhan Ratu di Sukabumi, dan dari Malingping di Banten. Dari keduanya akan dijumpai pertigaan Bayah–Pantai Sawarna. Lalu naik ke Utara menuju pertigaan Pasir Kuray yang diteruskan ke Cisitu. Jika Anda ingin naik kendaraan umum, ada angkutan warna merah dengan trayek Pelabuhan Ratu–Cisitu.
Penulis/Editor: Djali Achmad