Komunitas PA dan Jurnalisme
Kebanyakan PA adalah penutur cerita yang baik. Hal ini dilihat disekitar api unggun pada malam hari. Selama beratus tahun, api unggun dan lingkaran persaudaraan menjadi sombol yang mampu menggetarkan jiwa, memompa semangat yang lemah, menguatkan persaudaraan dan tempat berbagi pengetahuan pengembaraan.
Manakala sang pengembara sampai pada tugas penulisan, mereka seperti dihantui bayang-bayang yang menggelisahkan. Kesulitan pertama calon penulis (atau jurnalis) kebanyakan dari kesalahan persepsi seakan-akan berhadapan dengan tugas menulis sebuah fiksi. Padahal menulis artikel sama sekali bukanlah “mengarang” sesuatu yang khayali atau membuat sebuah imajinasi, tetapi justru sebaliknya; menulis apa-apa yang faktual.
Kedua, lemahnya segi pencatatan yang dilakukan selama beraktifitas. Mencatat belum merupakan budaya di masyarakat Indonesia. KAB lebih dinikmati sebagai kegiatan fisikal yang memacu adrenalin, tidak dikaitkan pada segi pencatatan untuk pelaporan.
Ketiga, buruknya dokumentasi kegiatan. Hanya satu dua kegiatan atau klub yang mempunyai dokumentasi baik. Laporan ekspedisi yang berusia 10 tahun pun banyak sudah tidak diketahui rimbanya. Jika ada jurnalis yang ingin mendapatkan data kegiatan silam, kebanyakan mendapatkan jawaban berdasarkan ingatan.
Keempat, pekerjaan menulis sama dengan tidak mendatangkan popularitas, lain dengan kegiatan petualangan itu sendiri. Hal ini mungkin menyebabkan rendahnya minat PA pada jurnalistik.
Kelima, menulis belum menjanjikan imbalan memadai. Menulis KAB masih dipandang publik sebagai hobi, bukan profesi. Padahal untuk menghasilkan artikel yang baik, biayanya cukup besar.
Jurnalis Petualangan
Jurnalis (baca: penulis) KAB pada hakekatnya sama seperti jurnalis lain. Persyaratan, kode etik jurnalis petualangan tidak berbeda dengan jurnalis pada umumnya. Yang membedakan adalah lokasi berita dan jenis kegiatan yang memaksa jurnalis petualangan untuk menguasai teknik ber-KAB dan mampu mengikuti pergerakan seorang petualang.
Menulis menuntut tanggung jawab dan memerlukan kesadaran tinggi dari pribadi sang penulis. Kesadaran ini dapat di capai bila jurnalis tersebut memiliki kecakapan dan keterampilan serta pengetahuan jurnalistik yang memadai dalam menjalankan profesinya, baik yang diperolehnya melalui pelatihan atau pendidikan khusus maupun hasil bacaannya (Kusumaningrat 2006).
Bagaimanakah seorang jurnalis petualangan dilahirkan? Di banyak pendidikan dasar organisasi PA, sudah diajarkan jurnalisme dasar. Tujuannya agar anggota organisasi mampu menghasilkan tulisan jurnalistik. Cara semacam ini mungkin adalah yang terbaik: lebih mudah mendidik seorang petualang menjadi jurnalis daripada mendidik seorang jurnalis menjadi petualang!
Pencerahan
Apa keuntungan menulis? Bagi PA Indonesia, jurnalisme berarti tindakan bertanggung jawab. Komunitas PA perlu mengkomunikasikan misi dan kegiatannya kepada publik dalam semangat berbagi pengetahuan, antara lain untuk menandingi dominasi tayangan media elektronik yang terkadang kurang mendidik.
Ribuan obyek wisata petualangan di Indonesia masih membutuhkan ribuan artikel dan buku, agar dikenal publik tanah air dan dunia. Jumlah penulis KAB di negeri ini mungkin tidak lebih dari 30 orang. Bagaimana PA Indonesia menyikapi persoalan kelangkaan penulis, akan sangat tergantung pada persepsi diri setiap penggiat.
Pekerjaan jurnalistik dapat dilakukan oleh anggota komunitas itu sendiri, ini LEBIH MEMERLUKAN KEMAUAN, DARIPADA KEMAMPUAN, karena pekerjaan jurnalistik dapat diurai dan dipelajari tahap demi tahap. Komunitas PA perlu menanggapi tantangan dunia jurnalistik dengan mulai membiasakan diri mencatat dan menulis.
Sebuah tulisan yang baik memberikan pencerahan sekaligus kebahagiaan kepada sang penulis, karena dipercaya dapat mendatangkan katarsis (penyucian diri yang membawa pembaharuan rohani dan pelepas ketegangan) bagi dirinya melalui pengalaman estetis. Jadi, mengapa tidak menulis?
Penggiat Alam dan Jurnalisme Part (1)
Penulis: Teo Tri Prasetyana
Editor: Djali Achmad