Burangrang.com | Bali – Dari catatan sejarah yang ada, Dr. Daryono dari BMKG menyampaikan bahwa gempa darat di utara-timur dan Utara-barat Bali pada tahun 1815, 1917 dan 1976 selalu diikuti oleh longsoran yang memakan korban jiwa tidak sedikit. “Gempa Bali tanggal 21 Januari 1917 itu menimbulkan longsoran yang menyebabkan korban jiwa hingga 80 persen dari total korban yang saat itu berjumlah sekitar 1,500 orang,” ujar Daryono.
Terkait dengan kerusakan bangunan yang sangat signifikan saat kejadian gempa M4,8 pada 16 Oktober lalu, Daryono mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh faktor amplifikasi guncangan oleh endapan tanah lunak dan faktor bangunan yang tidak memperhatikan kaidah bangunan standar tahan gempa.
![](https://sp-ao.shortpixel.ai/client/to_webp,q_glossy,ret_img,w_2339,h_1264/https://burangrang.com/wp-content/uploads/2021/10/bali5-1.jpg)
Peninjauan lokasi terdampak gempabumi dengan magnitudo 4.8 yang memicu terjadinya longsoran (landslide) dan reruntuhan batu (rockfall) di wilayah Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Sabtu (16/10). Foto: Istimewa
Lebih jauh, Daryono menyampaikan bahwa masyarakat perlu memperhatikan potensi bahaya ikutan (collateral hazards) dari gempa sehingga pemukiman yang saat ini sudah ada perlu melihat kembali aspek geologi lingkungan berbasis risiko gempa. “Masyarakat diharapkan tidak membangun rumah di bawah lereng bukit terjal karena rawan terjadi longsoran (landslide) dan runtuhan batu (rockfall) saat gempa,” tutup dia pada halaman website resmi BNPB.
Pewarta: Nish
Editor: And